Saturday, February 26, 2005

Friday, February 25, 2005

kau, aku, dia [?]

"Ayah saya memang sudah tidak sehat jiwanya." Begitu kataku pada psikiater cantik itu.
"Anda harus membantunya.."
Psikiater itu hanya mengangguk, menyeruput sedikit air minum di gelas kacanya.
"Ceritakan tentang ayah anda.. untuk menolongnya saya harus tahu orang seperti apa beliau, silakan duduk." dengan tangannya ia menyilakan saya untuk duduk di sebuah sofa di hadapannya, lalu ia memakai kacamata yang sebelumnya tergantung di saku jubahnya.



Ayah. Sejujurnya, bukan sosok yang benar-benar kukenal. Sejak aku kecil ayah selalu mengunci dirinya di studionya. Dia hanya keluar pagi-pagi sekali untuk sarapan, dan malam sekali untuk makan malam. Ayahku makan siang di studionya.

Pernah suatu kali ia keluar dari studionya, sewaktu ibuku sedang mengunjungi almarhum kakekku yang sedang sakit. Ayah mengajak aku dan adikku pergi ke toko alat-alat lukis. Toko yang mungil saja. Yang dihimpit oleh toko roti di sebelan kanannya dan sebuah kantor --entah kantor apa-- di sebelah kirinya. Yang aku paling ingat dari perjalanan hari itu adalah bau roti yang sangat lezat. Kalau tak salah ingat, aku sempat bertanya pada ayah "Toko alat lukis itu baunya seperti roti ya Yah?" Ayah hanya tersenyum sambil mengelus pelan kepalaku. Ayah memang tidak banyak bicara. ( dan baru beberapa tahun kemudian aku menyadari dari mana aroma roti itu sebenarnya berasal).



Psikiater cantik itu bertopang dagu sekarang. Senang rasanya bicara seperti ini di depan seseorang yang begitu cantiknya. "dia tidak seperti seorang psikiater.." benakku. "Apalagi di dalam jaket putihnya... lebih mirip bidadari.."

"Bagaimana dengan ibu anda?" suara merdu psikiater itu memecahkan lamunanku.



Ibu. "Ibu saya adalah wanita terbaik dan tercantik di dunia." Si cantik di hadapanku ini tersenyum sekarang. "Semua anak merasa ibunya seperti itu ya?" kataku sambil membalas senyumannya.

Ibuku adalah peranakan beberapa suku bangsa. Buyutku --ibu dari eyang kakung -- adalah seorang noni Belanda yang cantik sekali. Sementara ayah eyang kakungku adalah seorang bangsawan Jawa. Eyang kakung lalu menikah dengan eyang putri yang peranakan Cina -- Betawi.

Satu hal yang benar-benar aku ingat tentang wajah ibuku adalah matanya. Mata yang indah sekali. Warna matanya sukar dilukiskan. Di bawah sinar matahari, mata ibuku berwarna biru kehijauan dan sedikit coklat, di waktu malam, dibawah sinar lampu, warna matanya menjadi ungu kecoklatan. Aku suka sekali memperhatikan mata ibuku. Seperti pelangi, pikirku waktu kecil.

Selama ayah mengasingkan diri di dalam studionya, ibukulah yang mengurus aku dan adikku. Ibuku yang mencari uang dengan segala macam cara, mulai dari berjualan nasi bungkus, menjual susu kedelai, mengurus kios di depan rumah, sampai membuka kedai kecil. Dengan semua kesibukannya itu, ibuku masih saja selalu tersenyum ketika menidurkan aku dan adikku. Aku tahu setelah aku dan adikku tidur, dia masih harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya, tapi setiap pagi, ia membangunkan kami berdua dengan suaranya yang lembut dan senyumannya yang damai.
Ayah bertemu dengan ibu di masa mudanya ketika ibu menjadi salah satu model untuk sebuah lukisan ayah. Selain menjadi model untuk lukisan dan foto, ibuku sewaktu mudanya juga seorang pelukis, mungkin kesamaan minat dengan ayahku yang membuat mereka saling jatuh cinta. Setelah menikah dengan ayahku, ibu berhenti melukis dan menjadi model.



"Bagaimana dengan adik anda?"
(cantik betul psikiater ini)


"Ara?" tanyaku. Si cantik mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Panji Surya Baskara, karena keluarga kami beradat Jawa, silakan dokter ganti semua akhiran '--a' menjadi '--o'." Kataku sedikit bercanda. Si cantik tersenyum lebih lebar kini, kepalanya sedikit tertunduk

Ara. Adik laki-lakiku yang kini sudah tiada. Ara lebih berbakat dari aku di bidang olahraga dan sejak kecil memang dia sangat aktif mengikuti segala macam bidang, sepakbola, basket, silat, taekwondo, semua ia ikuti. Sewaktu SD, dia paling sering membuat ibuku marah dengan segala kenakalannya. Dia paling sering mencuri permen di kios ibuku, tapi terus terang aku senang kalau ibu marah, karena biasanya sesudah beliau marah sebentar, biasanya beliau membuatkan aku dan adikku setangkup roti bakar coklat kesukaan kami.

Aku lebih pendiam, ibuku kadang-kadang bahkan berkata, aku terlalu pendiam. Aku lebih mirip ayah.

Ara adalah sahabat terdekatku. Kami memang punya teman-teman yang berbeda, Ara lebih senang pergi jalan-jalan bertemu teman-temannya di siang atau sore hari, aku lebih senang bertemu teman-temanku di malam hari. Walau demikian, dia selalu yang mengetahui pertamakali kalau ada yang mengganggu pikiranku, dan aku orang pertama yang dia ceritakan tentang masalah-masalahnya. Banyak persoalanku yang tidak diketahui oleh ayah-ibuku, tapi diketahui Ara, begitu juga sebaliknya. Sebetulnya Ara seringkali kena marah karena perbuatanku. Karena aku yang membujuknya untuk mencuri permen dari kedai ibu. Saking dekatnya kami, sampai-sampai aku tak ingat masa kecilku sebelum Ara lahir.


"Maaf Dok, kalau bisa saya tidak ingin bicara tentang Ara saat ini. Saya masih terlalu sedih untuk itu."

"Oh maaf, saya mengerti. Anda ingin istirahat sebentar?" raut mukanya yang cantik menunjukkan simpati.

"Tidak perlu, lagipula saya harus membantu anda membantu ayah saya, saya hanya masih belum cukup kuat untuk bicara tentang Ara."

"OK, Kalau begitu kita kembali bicarakan ayah anda..." katanya sambil membetulkan posisi duduknya. "..bagaimana anda sampai pada kesimpulan bahwa jiwanya terganggu?"

Ibu meninggalkan kami pada saat saya berumur 18 tahun, Ara berumur 16 tahun pada saat itu. Saya tidak menyalahkan ibu. Melihat cara ayah memperlakukan ibuku, dan betapa jarangnya saya melihat mereka berdua berbicara, kepergian ibu sama sekali tidak mengherankan. Sewaktu ibu akan pergi, ia mengajak saya dan Ara berbicara. Beliau menyerahkan pilihan kepada kami, apakah kami akan ikut beliau, atau tinggal bersama ayah. Entah kenapa pada saat itu aku dan adikku memilih untuk tinggal bersama ayah. Mungkin karena kasihan pada ayah, mungkin juga kami tak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu. Rumah yang sampai kini belum lunas angsurannya.

Aku masih ingat sinar keemasan matahari yang menerobos jendela studio ayah sore itu. aku bahkan masih ingat aroma waktu itu, tanah basah sesudah hujan tanpa mendung.

Saya ingat kami, saya dan Ara, berjongkok di luar studio ayah, kami bersandar pada dinding studio itu sambil sesekali mengintip lewat jendela di dinding itu. Ibu berbicara dengan ayah, entah bicara apa, sementara ayah tetap duduk di kursinya menghadap kanvas. Lalu kudengar suara ibu agak keras "Sudah, aku capek." Sejenak setelah terdengar suara pintu studio ayah ditutup, kulihat ibu berjalan menghampiri kami, matanya yang indah berkaca-kaca. Beliau memeluk kami berdua, mengecup kening kami, lama sekali. Lalu beliau berbalik dan berjalan menjauhi kami. Itulah kali terakhir kami melihat ibu.


"Ayah anda tidak bereaksi sama sekali?"

Aku menggeleng, " tidak pada saat itu."

Yang aku tahu, ayah menjadi lebih pendiam lagi sejak saat itu. Beliau semakin jarang keluar dari studionya, aku dan Ara bergantian membawakan makanan ke studionya. Studio ayah yang semakin hari semakin penuh dengan lukisan wajah ibu yang tak sempurna. Wajah ibuku tanpa mata. Sementara itu hutang-hutang kami semakin menumpuk, ayah hampir tidak menghasilkan uang sama sekali, hanya sesekali ia pergi keluar untuk menjual lukisan-lukisannya ke sebuah galeri lukisan setengah jam perjalanan dari rumah kami.

Kira-kira dua tahun setelah saat itu, di sebuah sore, ketika sedang mengerjakan tugas-tugas kuliah, saya mendengar suara ayah dari teras depan, "..masih begini-begini saja" setelah itu terdengar suara kursi ruang makan ditarik kearah teras. "kamu sendiri?" kudengar lagi suara ayah. Ayah tidak pernah menggunakan kata 'kamu' kecuali kalau beliau berbicara dengan ibu. Bahkan kepada aku dan Ara, beliau selalu menggunakan 'anda'. Karena itulah saya menjadi begitu bersemangat berlari ke teras. Sambil berlari, saya lihat Ara berdiri di dekat pintu depan, memperhatikan arah teras, ketika saya sampai ke pintu tersebut, Ara menghentikan langkah saya, dan meletakkan jari telunjuk kanannya diatas bibirnya, Ara mengisyaratkan saya untuk jangan bersuara.

Pemandangan yang kami lihat di teras itu agak mengagetkan. Atau bahkan sangat mengagetkan. Kami menyaksikan sendiri bagaimana ayah seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang, sementara sebenarnya tak ada orang lain disana.

Ayah lalu menyeruput kopinya, lalu berjalan kearah studionya sambil seakan-akan merangkul seseorang.

Aku dan Ara mengikuti ayah dari belakang, kami mengintip dari balik jendela yang waktu ibu pergi juga kami pakai mengintip itu. Kami lihat ayah bercakap-cakap sendirian, sambil menggores-goreskan kuasnya diatas kanvas.

Sejak sore itu, kejadian tersebut semakin sering terjadi, hampir setiap sore saya mendengar ayah berkata "..masih begini-begini saja", setelah itu selalu terdengar suara kursi makan ditarik kearah teras. Lalu suara pintu studio ayah tertutup. Selalu begitu, berulang, berulang, dan berulang. Bahkan dua hari yang lalu pun ayahku masih tetap melakukan itu.


Si cantik hanya mengangguk-angguk sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya.

"Sekarang dokter mengerti kan kenapa saya berkesimpulan ayah saya terganggu jiwanya?"

"Ya, saya mengerti." Katanya sambil tersenyum, cantik sekali, kalau bukan karena hormatku pada ibu, aku akan bilang dia lebih cantik dari ibuku.

"Sepertinya hari ini sampai disini saja, anda sadar kenapa anda dimasukkan kesini?" suaranya terdengar agak tegas kali ini.

"Ya, saya mengerti, saya ada disini karena saya membunuh tukang pukul-tukang pukul penagih hutang yang membunuh adik saya.." (sunggu aku menyesal, menyesal sekali) ".. tolong dok, anda harus menolong ayah saya.."

"Jangan terlalu kuatir tentang ayah anda, saya akan menolong sebisanya.." ia tersenyum kecil, lalu berjalan keluar dari kamar serba putih ini, kemudian pintu ditutup dengan perlahan sekali, hampir tanpa suara.




==================================================================






Aku menutup pintu sel dibelakangku.
"visite terakhirku untuk hari ini.." benakku, sambil menghembuskan napas panjang
aku lepas kacamataku dan kumasukkan ke dalam saku jubahku.

"Sore Dok, baru selesai?" terdengar suara dokter Sarjono, seniorku di institusi ini.

"Iya nih.." sambil kupaksakan sebuah senyuman (bukan apa-apa, aku penat sekali)

"Orang baru ya?" tanya dokter Jo (begitu ia biasa disapa di sini), sambil memiringkan kepalanya ke arah pintu yang baru kulalui

"iya, baru masuk tadi pagi"
"bikin salah apa dia sampai masuk sini?"
"membunuh.." jawabku dengan singkat, tanpa emosi, agak terlalu dingin (bagaimanapun membunuh seseorang bukan perkara enteng, walaupun si korban sudah terkenal dengan kejahatan dan statusnya yang preman dan tukang pukul).

"Boleh saya lihat datanya?"
Aku sodorkan data-data pasien tersebut kepada dokter Jo.

"Hmm..." suaranya terdengar berat, seperti sedang berpikir serius.
"Tinggal bersama ayahnya sampai ayahnya meninggal lima tahun lalu, ibunya meninggalkan mereka waktu dia berumur 18 tahun... delapan tahun lalu.." dokter Jo bergumam.
"..anak tunggal.." lanjutnya.. "..siapa namanya?" dokter Jo mendongakkan kepalanya


"Panji Suryo Baskoro" jawabku.