Tuesday, June 21, 2005

runaway bride

Image hosted by Photobucket.com

and yet another

bliss

Image hosted by Photobucket.com

another one

Monday, June 20, 2005

kucing kucing kucing

Image hosted by Photobucket.com

ini si bengal namanya :D

Image hosted by Photobucket.com

si bengal lagi


Image hosted by Photobucket.com

yg ini namanya satsuma :D

Sunday, June 19, 2005

serenity

Image hosted by Photobucket.com
masih dari session yang sama

white bride

Image hosted by Photobucket.com

kemarin ikutan motret wedding dress sama si ateng. hehehe

Monday, April 04, 2005


another one! :)
posted by iqbalbaskara

ini foto udah di rombak abis2an pake photoshop.. ada yang bisa nebak bagian mana aja yang asli? :)
posted by iqbalbaskara

Saturday, April 02, 2005

Kota Yang Tak Berhenti Bermimpi

Ada sebuah kota yang tak berhenti bermimpi. Kota tersebut tampak berbeda bagi
tiap orang. Untukku, kota tersebut tampak seperti sebuah kota biasa. Lengkap dengan
gedung-gedung pencakar langit, pasar-pasar terbuka, dan bagian kota tua dengan
bangunan-bangunan kuno bergaya kolonial.


Yang berbeda adalah, untukku, kota tersebut tidak pernah malam dan tidak pernah siang. Matahari seperti menggantung di pukul 5 sore, membuat semua benda berkilau emas dan berwarna agak cokelat, mirip foto-foto tua.


Ada sebuah kota yang tak berhenti bermimpi. Di kota tersebut semuanya selalu berubah, tapi juga tak ada yang berubah. Kekasih tak pernah hilang, cinta tak pernah pudar, dan kenangan sama nyata dengan kenyataan (walau kau tak dapat mengubah apapun dari kenangan itu).


Di kota tersebut, teman, ada sebuah stasiun tua (yang juga tampak berbeda-beda bagi tiap orang). Di stasiun tersebut, setiap pukul lima sore, akan berhenti sebuah kereta. Kereta penebusan, begitu penduduk kota tersebut menyebutnya. Di stasiun itu, setiap pukul lima sore, kau mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan-kesalahanmu, untuk mendapatkan kembali terkasih yang hilang, untuk mendapatkan kembali mimpi-mimpi yang terlepas dari genggaman. Untuk menulis ulang sejarah hidupmu,


Setiap pukul lima sore, di stasiun itu, kau bisa lihat penumpang-penumpang yang turun dari kereta penebusan tersenyum, menangis bahagia, atau tertawa-tawa kecil. Para calon penumpang biasanya berwajah muram, mata sayu, dan melangkah
seperti memanggul dunia di pundaknya.


Tak ada yang pernah tahu kemana sebenarnya kereta tersebut menuju. Semua orang yang sudah pernah menumpanginya sangat sulit diajak bicara (kalau tak mau dibilang tidak mungkin). Mereka seperti hidup di kehidupan yang lain, dan kemudian perlahan-lahan mereka akan pudar menghilang, seperti tak pernah tinggal sama sekali di kota-yang-tak-berhenti-bermimpi.


Fenomena ini tentu saja aneh, bahkan di kota-yang-tak-berhenti-bermimpi sekalipun. Fisikawan di seluruh kota dibuat bingung olehnya. Para ahli agama menganggap menaiki kereta tersebut sama saja dengan menjual jiwa kepada setan, iblis, lucifer, baal, beelzebub, atau nama apapun yang kau berikan pada makhluk itu. Pernah suatu ketika, stasiun tersebut disegel oleh pemerintah kota-yang-tak-berhenti-bermimpi. Pita-pita kuning bertuliskan "BAHAYA"; diikatkan mengelilingi stasiun, menutup pintu2 masuk dan keluar stasiun tersebut. Dan di pintu-pintu utama stasiun tersebut dijaga oleh polisi-polisi berwajah sangar, bahkan juga beberapa tentara berpatroli. Di dinding-dinding stasiun tersebut tertempel papan-papan kayu dengan huruf-huruf berwarna merah, yang berbunyi:

DILARANG MASUK!!!
Tebuslah kesalahan-kesalahan anda
dengan berkarya dan bekerja untuk hari esok.
Masa lalu adalah yang membuat anda menjadi anda saat ini.
Mengubahnya berarti mengubah diri anda sendiri.



Pesan ini disampaikan oleh Pemerintah Daerah Kota-Yang-Tak-Berhenti-Bermimpi
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur no. A1/rkyt/lrgn/050505/1a





Larangan itu tentu saja tak berlangsung lama, karena ternyata yang menginginkan
stasiun itu dibuka lagi lebih banyak daripada yang tidak menginginkannya. Tentara-tentara
dan polisi-polisi yang menjaga stasiun tersebut hilang satu per satu. Banyak
yang berpendapat mereka dimakan oleh jin anak buah iblis yang menjadi masinis
kereta tersebut, tapi menurutku, mereka hanya ingin memperbaiki masa lalunya,
dan kemudian diam-diam ikut menumpangi kereta tersebut.


Di dinding stasiun yang selalu tampak tua dan antik itu, kini melekat papan
putih dengan huruf-huruf hitam:



PERINGATAN PEMERINTAH:
Tebuslah kesalahan-kesalahan anda
dengan berkarya dan bekerja untuk hari esok.
Masa lalu adalah yang membuat anda menjadi anda saat ini.
Mengubah masa lalu dapat mengakibatkan pudarnya anda dari kota ini.



Pesan ini disampaikan oleh Pemerintah Daerah Kota-Yang-Tak-Berhenti-Bermimpi
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur no. A1/rkyt/lrgn/050505/4a





Seperti yang kukatakan sebelumnya, tak pernah ada yang tahu kemana para penumpang
kereta tersebut memudar. Beberapa orang berpendapat mereka pudar ke masa lalu.
Mereka hidup di masa lalu, dan terperangkap di sana, pendapat lain mengatakan,
mereka memudar karena mereka tak punya lagi tujuan untuk tetap ada. Bukankah
apabila semua kesalahanmu tertebus, dan semua keinginanmu terpenuhi, kau tak
punya alasan untuk tetap ada?

memories

what do we have other than memories?
the present never lingers long enough
the future's but a bunch of unfulfilled promises

would you be you, without your past?
or another person once you lost any recollection of it.

what are we without the memories of us?
would we say hello if we came across each other on a busy avenue?
would we comfort one another in time of needs?
congratulate each other's accomplishments
or even just a simple how are yous, good mornings, and how do you dos
buat yang baca postingan gua sebelumnya, mungkin ada yang mikir "okay, so which are you mister smartass, a cynic or a romantic" well my answer is, i'm somewhere inbetween.. heheh :D

Monday, March 14, 2005

romantics vs. cynics

after some intense meditations, really thick self-help books, a few can of coke, and watching some episodes of spongebob squarepants, i got an epiphany, my soul raises up to a higher level, and i finally gain insights of life, love, and some few other things not important enough to be written here. anyway, i think i'll share it with you, here's some of them...

and no, i don't know what the heck i'm talking about.


life
romantics : a chance to give to other people. time given to us to be benevolent and generous. an opportunity to make the world a better place.
cynics : is a bitch, and then you die.

love
romantics : the angels are singing, birds are chirping, the sun greets you with his (or her) warmth, everything is beautiful
cynics : lust, in smaller dosage.

love at first sight
romantics : when you knew in an instance that the person standing in front of you is the one made for you, the instance your souls converse without a sound.
cynics :well it should be lust at first sight if you ask me..

true love
romantics : a gift from the heavens.. something each of us will find in our life, once you've met your soulmate
cynics : happens quite often if the other person(s) delivers the "right stuff" , if you know what i mean..

love at first sight
romantics : when you knew in an instance that the person standing in front of you is the one made for you, the instance your souls converse without a sound.
cynics :well it should be lust at first sight if you ask me..

soulmate
romantics : "THE home" the person that makes your heart at ease, the one with whom you'll experience true love (see definition above)
cynics :the person(s) that delivers the "right stuff" if you know what i mean

non-profit organizations / pro bono acts
romantics : the living fact that we human beings really were created in God's image. a glimpse of what heaven is like, right here on earth.
cynics :the simplest way to gain popularity, you don't have to be good looking nor rich to do it (having some cash will be better though).

police officers
romantics : public servants with super human conscience to protect and serve their fellow civillians.
cynics :thugs in uniforms

soldiers
romantics : good samaritans that dedicate their lives for their fellow countrymen (and women)
cynics :thugs with heavy weapons

books / literature
romantics : the showcase of our great civilization. windows that connect people's hearts
cynics :some made up stories and/or exaggeration of facts. good door stoppers.

idealism / virtues
romantics :
basic values you must put into actions, values that make you what you are
cynics :jargons made up by pig-headed people to back up their stuborness.

Saturday, February 26, 2005

Friday, February 25, 2005

kau, aku, dia [?]

"Ayah saya memang sudah tidak sehat jiwanya." Begitu kataku pada psikiater cantik itu.
"Anda harus membantunya.."
Psikiater itu hanya mengangguk, menyeruput sedikit air minum di gelas kacanya.
"Ceritakan tentang ayah anda.. untuk menolongnya saya harus tahu orang seperti apa beliau, silakan duduk." dengan tangannya ia menyilakan saya untuk duduk di sebuah sofa di hadapannya, lalu ia memakai kacamata yang sebelumnya tergantung di saku jubahnya.



Ayah. Sejujurnya, bukan sosok yang benar-benar kukenal. Sejak aku kecil ayah selalu mengunci dirinya di studionya. Dia hanya keluar pagi-pagi sekali untuk sarapan, dan malam sekali untuk makan malam. Ayahku makan siang di studionya.

Pernah suatu kali ia keluar dari studionya, sewaktu ibuku sedang mengunjungi almarhum kakekku yang sedang sakit. Ayah mengajak aku dan adikku pergi ke toko alat-alat lukis. Toko yang mungil saja. Yang dihimpit oleh toko roti di sebelan kanannya dan sebuah kantor --entah kantor apa-- di sebelah kirinya. Yang aku paling ingat dari perjalanan hari itu adalah bau roti yang sangat lezat. Kalau tak salah ingat, aku sempat bertanya pada ayah "Toko alat lukis itu baunya seperti roti ya Yah?" Ayah hanya tersenyum sambil mengelus pelan kepalaku. Ayah memang tidak banyak bicara. ( dan baru beberapa tahun kemudian aku menyadari dari mana aroma roti itu sebenarnya berasal).



Psikiater cantik itu bertopang dagu sekarang. Senang rasanya bicara seperti ini di depan seseorang yang begitu cantiknya. "dia tidak seperti seorang psikiater.." benakku. "Apalagi di dalam jaket putihnya... lebih mirip bidadari.."

"Bagaimana dengan ibu anda?" suara merdu psikiater itu memecahkan lamunanku.



Ibu. "Ibu saya adalah wanita terbaik dan tercantik di dunia." Si cantik di hadapanku ini tersenyum sekarang. "Semua anak merasa ibunya seperti itu ya?" kataku sambil membalas senyumannya.

Ibuku adalah peranakan beberapa suku bangsa. Buyutku --ibu dari eyang kakung -- adalah seorang noni Belanda yang cantik sekali. Sementara ayah eyang kakungku adalah seorang bangsawan Jawa. Eyang kakung lalu menikah dengan eyang putri yang peranakan Cina -- Betawi.

Satu hal yang benar-benar aku ingat tentang wajah ibuku adalah matanya. Mata yang indah sekali. Warna matanya sukar dilukiskan. Di bawah sinar matahari, mata ibuku berwarna biru kehijauan dan sedikit coklat, di waktu malam, dibawah sinar lampu, warna matanya menjadi ungu kecoklatan. Aku suka sekali memperhatikan mata ibuku. Seperti pelangi, pikirku waktu kecil.

Selama ayah mengasingkan diri di dalam studionya, ibukulah yang mengurus aku dan adikku. Ibuku yang mencari uang dengan segala macam cara, mulai dari berjualan nasi bungkus, menjual susu kedelai, mengurus kios di depan rumah, sampai membuka kedai kecil. Dengan semua kesibukannya itu, ibuku masih saja selalu tersenyum ketika menidurkan aku dan adikku. Aku tahu setelah aku dan adikku tidur, dia masih harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya, tapi setiap pagi, ia membangunkan kami berdua dengan suaranya yang lembut dan senyumannya yang damai.
Ayah bertemu dengan ibu di masa mudanya ketika ibu menjadi salah satu model untuk sebuah lukisan ayah. Selain menjadi model untuk lukisan dan foto, ibuku sewaktu mudanya juga seorang pelukis, mungkin kesamaan minat dengan ayahku yang membuat mereka saling jatuh cinta. Setelah menikah dengan ayahku, ibu berhenti melukis dan menjadi model.



"Bagaimana dengan adik anda?"
(cantik betul psikiater ini)


"Ara?" tanyaku. Si cantik mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Panji Surya Baskara, karena keluarga kami beradat Jawa, silakan dokter ganti semua akhiran '--a' menjadi '--o'." Kataku sedikit bercanda. Si cantik tersenyum lebih lebar kini, kepalanya sedikit tertunduk

Ara. Adik laki-lakiku yang kini sudah tiada. Ara lebih berbakat dari aku di bidang olahraga dan sejak kecil memang dia sangat aktif mengikuti segala macam bidang, sepakbola, basket, silat, taekwondo, semua ia ikuti. Sewaktu SD, dia paling sering membuat ibuku marah dengan segala kenakalannya. Dia paling sering mencuri permen di kios ibuku, tapi terus terang aku senang kalau ibu marah, karena biasanya sesudah beliau marah sebentar, biasanya beliau membuatkan aku dan adikku setangkup roti bakar coklat kesukaan kami.

Aku lebih pendiam, ibuku kadang-kadang bahkan berkata, aku terlalu pendiam. Aku lebih mirip ayah.

Ara adalah sahabat terdekatku. Kami memang punya teman-teman yang berbeda, Ara lebih senang pergi jalan-jalan bertemu teman-temannya di siang atau sore hari, aku lebih senang bertemu teman-temanku di malam hari. Walau demikian, dia selalu yang mengetahui pertamakali kalau ada yang mengganggu pikiranku, dan aku orang pertama yang dia ceritakan tentang masalah-masalahnya. Banyak persoalanku yang tidak diketahui oleh ayah-ibuku, tapi diketahui Ara, begitu juga sebaliknya. Sebetulnya Ara seringkali kena marah karena perbuatanku. Karena aku yang membujuknya untuk mencuri permen dari kedai ibu. Saking dekatnya kami, sampai-sampai aku tak ingat masa kecilku sebelum Ara lahir.


"Maaf Dok, kalau bisa saya tidak ingin bicara tentang Ara saat ini. Saya masih terlalu sedih untuk itu."

"Oh maaf, saya mengerti. Anda ingin istirahat sebentar?" raut mukanya yang cantik menunjukkan simpati.

"Tidak perlu, lagipula saya harus membantu anda membantu ayah saya, saya hanya masih belum cukup kuat untuk bicara tentang Ara."

"OK, Kalau begitu kita kembali bicarakan ayah anda..." katanya sambil membetulkan posisi duduknya. "..bagaimana anda sampai pada kesimpulan bahwa jiwanya terganggu?"

Ibu meninggalkan kami pada saat saya berumur 18 tahun, Ara berumur 16 tahun pada saat itu. Saya tidak menyalahkan ibu. Melihat cara ayah memperlakukan ibuku, dan betapa jarangnya saya melihat mereka berdua berbicara, kepergian ibu sama sekali tidak mengherankan. Sewaktu ibu akan pergi, ia mengajak saya dan Ara berbicara. Beliau menyerahkan pilihan kepada kami, apakah kami akan ikut beliau, atau tinggal bersama ayah. Entah kenapa pada saat itu aku dan adikku memilih untuk tinggal bersama ayah. Mungkin karena kasihan pada ayah, mungkin juga kami tak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu. Rumah yang sampai kini belum lunas angsurannya.

Aku masih ingat sinar keemasan matahari yang menerobos jendela studio ayah sore itu. aku bahkan masih ingat aroma waktu itu, tanah basah sesudah hujan tanpa mendung.

Saya ingat kami, saya dan Ara, berjongkok di luar studio ayah, kami bersandar pada dinding studio itu sambil sesekali mengintip lewat jendela di dinding itu. Ibu berbicara dengan ayah, entah bicara apa, sementara ayah tetap duduk di kursinya menghadap kanvas. Lalu kudengar suara ibu agak keras "Sudah, aku capek." Sejenak setelah terdengar suara pintu studio ayah ditutup, kulihat ibu berjalan menghampiri kami, matanya yang indah berkaca-kaca. Beliau memeluk kami berdua, mengecup kening kami, lama sekali. Lalu beliau berbalik dan berjalan menjauhi kami. Itulah kali terakhir kami melihat ibu.


"Ayah anda tidak bereaksi sama sekali?"

Aku menggeleng, " tidak pada saat itu."

Yang aku tahu, ayah menjadi lebih pendiam lagi sejak saat itu. Beliau semakin jarang keluar dari studionya, aku dan Ara bergantian membawakan makanan ke studionya. Studio ayah yang semakin hari semakin penuh dengan lukisan wajah ibu yang tak sempurna. Wajah ibuku tanpa mata. Sementara itu hutang-hutang kami semakin menumpuk, ayah hampir tidak menghasilkan uang sama sekali, hanya sesekali ia pergi keluar untuk menjual lukisan-lukisannya ke sebuah galeri lukisan setengah jam perjalanan dari rumah kami.

Kira-kira dua tahun setelah saat itu, di sebuah sore, ketika sedang mengerjakan tugas-tugas kuliah, saya mendengar suara ayah dari teras depan, "..masih begini-begini saja" setelah itu terdengar suara kursi ruang makan ditarik kearah teras. "kamu sendiri?" kudengar lagi suara ayah. Ayah tidak pernah menggunakan kata 'kamu' kecuali kalau beliau berbicara dengan ibu. Bahkan kepada aku dan Ara, beliau selalu menggunakan 'anda'. Karena itulah saya menjadi begitu bersemangat berlari ke teras. Sambil berlari, saya lihat Ara berdiri di dekat pintu depan, memperhatikan arah teras, ketika saya sampai ke pintu tersebut, Ara menghentikan langkah saya, dan meletakkan jari telunjuk kanannya diatas bibirnya, Ara mengisyaratkan saya untuk jangan bersuara.

Pemandangan yang kami lihat di teras itu agak mengagetkan. Atau bahkan sangat mengagetkan. Kami menyaksikan sendiri bagaimana ayah seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang, sementara sebenarnya tak ada orang lain disana.

Ayah lalu menyeruput kopinya, lalu berjalan kearah studionya sambil seakan-akan merangkul seseorang.

Aku dan Ara mengikuti ayah dari belakang, kami mengintip dari balik jendela yang waktu ibu pergi juga kami pakai mengintip itu. Kami lihat ayah bercakap-cakap sendirian, sambil menggores-goreskan kuasnya diatas kanvas.

Sejak sore itu, kejadian tersebut semakin sering terjadi, hampir setiap sore saya mendengar ayah berkata "..masih begini-begini saja", setelah itu selalu terdengar suara kursi makan ditarik kearah teras. Lalu suara pintu studio ayah tertutup. Selalu begitu, berulang, berulang, dan berulang. Bahkan dua hari yang lalu pun ayahku masih tetap melakukan itu.


Si cantik hanya mengangguk-angguk sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya.

"Sekarang dokter mengerti kan kenapa saya berkesimpulan ayah saya terganggu jiwanya?"

"Ya, saya mengerti." Katanya sambil tersenyum, cantik sekali, kalau bukan karena hormatku pada ibu, aku akan bilang dia lebih cantik dari ibuku.

"Sepertinya hari ini sampai disini saja, anda sadar kenapa anda dimasukkan kesini?" suaranya terdengar agak tegas kali ini.

"Ya, saya mengerti, saya ada disini karena saya membunuh tukang pukul-tukang pukul penagih hutang yang membunuh adik saya.." (sunggu aku menyesal, menyesal sekali) ".. tolong dok, anda harus menolong ayah saya.."

"Jangan terlalu kuatir tentang ayah anda, saya akan menolong sebisanya.." ia tersenyum kecil, lalu berjalan keluar dari kamar serba putih ini, kemudian pintu ditutup dengan perlahan sekali, hampir tanpa suara.




==================================================================






Aku menutup pintu sel dibelakangku.
"visite terakhirku untuk hari ini.." benakku, sambil menghembuskan napas panjang
aku lepas kacamataku dan kumasukkan ke dalam saku jubahku.

"Sore Dok, baru selesai?" terdengar suara dokter Sarjono, seniorku di institusi ini.

"Iya nih.." sambil kupaksakan sebuah senyuman (bukan apa-apa, aku penat sekali)

"Orang baru ya?" tanya dokter Jo (begitu ia biasa disapa di sini), sambil memiringkan kepalanya ke arah pintu yang baru kulalui

"iya, baru masuk tadi pagi"
"bikin salah apa dia sampai masuk sini?"
"membunuh.." jawabku dengan singkat, tanpa emosi, agak terlalu dingin (bagaimanapun membunuh seseorang bukan perkara enteng, walaupun si korban sudah terkenal dengan kejahatan dan statusnya yang preman dan tukang pukul).

"Boleh saya lihat datanya?"
Aku sodorkan data-data pasien tersebut kepada dokter Jo.

"Hmm..." suaranya terdengar berat, seperti sedang berpikir serius.
"Tinggal bersama ayahnya sampai ayahnya meninggal lima tahun lalu, ibunya meninggalkan mereka waktu dia berumur 18 tahun... delapan tahun lalu.." dokter Jo bergumam.
"..anak tunggal.." lanjutnya.. "..siapa namanya?" dokter Jo mendongakkan kepalanya


"Panji Suryo Baskoro" jawabku.

Sunday, January 30, 2005

kita tetap kita tetap kita (?)

Aku masih ingat sinar keemasan matahari yang menerobos jendela studioku sore itu.
Aku bahkan masih ingat aroma waktu itu, tanah basah sesudah hujan tanpa mendung.

"Sudah, aku capek" begitu katamu
Aku pura-pura tak mendengar.
Lalu kau berdiri, masuk ke kamar ganti, dan berganti kostum dengan bajumu sehari-hari.
Aku masih berkutat mencampur-campur warna.
Warna matamu sulit sekali didapat.
Coklat, hijau, tambahkan setitik biru... kurang gelap.
Hitam, ungu, tambahkan sedikit merah.. tak juga kutangkap warna itu.
Warna matamu.

"Aku pergi dulu" katamu sambil lalu.
"kemana?" masih aku campur-campur warna matamu.
"jalan-jalan.." lalu kudengar suara pintu tertutup, tak dibanting, tapi juga tak ditutup dengan halus, khas suara pintu ditutup milikmu.

Gambar teralis jendela yang dilukis oleh sinar matahari kini sudah melata, bahkan mulai memanjat ke dinding timur studioku.



Dua tahun berlalu sejak saat itu.


Di sebuah sore, yang tak jauh beda dengan sore itu, kau tiba-tiba mengetuk pintu hijau rumahku. Kau pulang dari 'jalan-jalan'mu.

"apa kabar?" sapamu
"masih begini-begini saja" sambil kutarik salah satu kursi dari ruang makan ke teras rumahku.
"kamu sendiri?"
"baik... lukisannya udah selesai?" tanyamu seakan kau pergi hanya sejak beberapa jam lalu.

.
.
"belum" kataku setelah menamatkan secangkir kopi hangat yang sudah setengahnya ketika kau datang.

"ayo kita mulai lagi"

Studioku agak kotor, aku akui. Aku bukan orang yang telaten. Ibuku selalu bilang aku harus cari istri yang resik, alasannya ya karena ini. Pintunya kini berderit kalau dibuka. Ini pertama kalinya dalam dua tahun kamu masuk lagi ke dalamnya. Dan kini aku dengar lagi suara khas pintu tertutupmu. Suara itu, plus suara derit.

Lucu bagaimana waktu seakan terlipat-lipat jika aku di dekatmu. Aku berani bersumpah, kecuali bau tanah basah pada waktu itu, sore ini adalah sore yang sama dengan sore itu. Kamu memakai kostum yang sama, sinar matahari yang menerobos teralis jendela studioku, aroma cat, daun jendela yang retak salah satu panil kacanya. Semuanya sama. Sore ini adalah sore itu, aku adalah aku yang waktu itu, dan kamu adalah kamu yang waktu itu. Tak ada yang berubah. "Seperti inilah seharusnya" benakku.

"aku akhirnya mendapatkan warna matamu" kataku sambil aku duduk di depan kanvasku. Mengambil minyak dan membasahi lagi campuran warna matamu yang sudah mengering.

"lalu kenapa gak diselesaikan saja lukisannya?" kau bersihkan tempat dudukmu, pedestalmu
"aku baru dapat warnanya.. aku tak ingat sinarnya..." jawabku.
"kalau gitu silakan, perhatikan sinarnya" katamu sambil tersenyum.

Lalu aku tertengun...
Aku tertengun sampai kau bertanya "Ada apa? Kok gak mulai-mulai?"



Aku tak yakin tentang sinarnya, tapi ada satu yang aku yakin.
"warna matamu berubah.."

a loyal friend

loneliness is one loyal friend
he'll never really cut you off
he'll be the one around while others are not
he'll be there in your times of hardship
he'll be there when you're down

indeed,

loneliness is one loyal friend

Thursday, January 27, 2005

sadarkah kamu?

sadarkah kamu,
setajam apapun matamu, kamu tak mungkin melihat punggung bulan.
sekuat apapun lenganmu, kamu tidak bisa mengangkat udara.
sebesar apapun mulutmu, kamu tak akan bisa menyebutkan satu-persatu pemberianNya.
sekebal apapun tubuhmu, kamu tak akan bisa menghindari kematian.
secepat apapun kakimu, kamu tak akan bisa mengalahkan bertambahnya umur.
dan semandiri apapun, kamu tak mungkin hidup tanpa orang lain.

sadarkah kamu,
kalau kita bisa melihat punggung bulan, mungkin kita tak akan berusaha mencapainya
kalau kita dapat mengangkat udara, mungkin akan melata saja kita, karena berlimpahnya ia
kalau kita dapat menyebutkan satu-persatu pemberianNya, mungkin kita akan hidup sangat singkat.
kalau kita bisa menghindari kematian, betapa sesaknya bumi kita.
kalau kita cukup cepat untuk mengalahkan bertambahnya umur, mungkin kita tak akan berbuat apa-apa, karena kita punya selamanya.
dan kalau kita hidup tanpa orang lain, mungkin kita belum hidup sama sekali.

Monday, January 24, 2005


oh how i envy you
posted by iqbalbaskara

kadang-kadang kita lupa

Kadang-kadang kita lupa untuk hidup.
Kadang-kadang, kita lupa.
Untuk hidup kita perlu cinta.
Untuk hidup kita perlu makna.

Bayangkan makna.
Sebuah gelas limun ketika engkau berbuka puasa.
Bayangkan.
Jika gelas itu tak berisi apa-apa.
Bermaknakah ia?

Bayangkan cinta.
Ketika engkau harus melepaskan yang terkasih.
Bayangkan.
Jika ia bukan apa-apa bagimu, dan kau bukan untuknya.
Cintakah yang kau relakan?

Bayangkan.
Seorang ibu kehilangan anaknya.
Seorang suami kehilangan istrinya.
Seorang pelukis kehilangan pendangannya.
Seorang penyair kehilangan kata-kata.

Kadang-kadang kita lupa makna.
Kadang-kadang kita lupa.
Makna udara
Makna saudara.
Makna senyuman.
Makna ucapan.
Makna teman.
Dan kadang-kadang, karena makna kita lupakan.
Kita lupa untuk mencinta.


Kadang-kadang kita lupa untuk hidup.

Saturday, January 22, 2005

Dia Itu Penyakit Jiwa

"Dia itu penyakit jiwa" begitu katamu. Penyakit jiwa yang menahun. Penyakit jiwa yang kambuh selalu disaat-saat kau sedang merasa sendiri. Dia itu lipas, yang bersembunyi dan bersarang diantara bebatuan jiwamu yang kering dan dahaga.

"Kau sendiri sudah sadar tentang itu kan?"
Aku mengangguk pelan.

Lalu menggeleng.

"Ah masih juga kau tak mengakuinya."
"Nih, aku angkatkan satu batu, kau lihat ada apa dibawahnya."

Yang aku lihat cuma sebuah sarang mirip sarang laba-laba, dan beberapa sisa-sisa mangsa.
"Yang kau lihat ini salah satu sarangnya. Sisa-sisa itu adalah sebagian dari hatimu,"
"Kau lihat? Betapa parahnya penyakitmu ini, bahkan hatimu digerogoti pun kau tak sadar."

"Tapi aku tak lihat lipas seekorpun.." akhirnya aku angkat bicara

" Dia sedang keluar, main dengan teman-temannya. Menikmati indahnya dunia. Sementara kau disini, di sudut-sudut benakmu yang kering kerontang." senyummu tampak mengejek kali ini.
"Aku kasihan padamu."

"Kau lihat itu" katamu sambil menunjuk satu sudut di lahan kering berbatu ini. Kearah sesosok indah pualam. Sosok seorang gadis cantik yang terlihat begitu ceria dan gembira.
"Kau yang membangun itu. Sadarkah kau?"

Aku tertengun.

"Iya. Kau yang membangunnya. Berhala yang kau buat untuk menyembahnya. Padahal sebenarnya dia hanya lipas."
"Lihat!" sergahmu seraya memenggangi bagian belakang kepalaku ketika aku hendak memalingkan muka.
"Itu karyamu! Itu kerjaanmu!"
"Bahkan itu saja kerjaanmu selama ini , memahat berhala untuk memujanya"

"Lalu kenapa?! " aku mulai marah. "Apa urusanmu kalau aku menyembah berhalanya ha?!"
"Apa maumu!?" bentakku.

Kau mengambil kotak rokok dari saku bajuku, membukanya, menyalakan salah satu isinya, lalu sambil menghembuskan asap tebal kau berkata singkat "Aku mau membangunkanmu."

Setelah itu beberapa saat kita berdua terdiam. Kau membersihkan sebuah batu di sebelahku dengan tanganmu, lalu duduk. Aku sendiri sudah terduduk sejak tadi.

"Mau?" katamu menyodorkan bungkus rokok padaku. Kotak rokokku. Rokokku.
Aku ambil satu rokokku itu, dan kau membantuku menyalakannya.

"Begini..." katamu membuka lagi percakapan. Atau sebenarnya perkuliahan.
"Kau sendiri kan sadar, delusimu ini tak akan berjalan kemana-mana?"
"Dan kalaupun akhirnya ia bisa berjalan, kau kan tahu akhirnya kira-kira seperti apa?"

Aku mengangguk. Ragu-ragu.

"Nih, ambil.." kau menyodorkan sebuah batu hitam yang lumayan besar.
"Sekarang kau jalan kesana, hancurkan itu berhalamu."
"Hancurkan sampai tak bersisa."
"Ayo cepaaat.." katamu sambil mendorongku.

Aku mengangkat tanganku. Batu itu berat , kasar, tajam. Granit.
Lalu aku melangkah.
Satu langkah... dua langkah.. tiga.. empat.. lima.. dan di setiap langkahku, semua ingatanku tentangnya terpampang jelas di hadapanku. Ingatan atau delusi? Entahlah saat ini tak penting itu delusi atau memori. Toh aku juga sudah tak bisa memilah-milahnya saat ini.

Di hadapan arca pualam itu aku berdiri. Lama .. lama sekali. Sementara batu di tanganku terasa semakin berat dan semakin berat. Wajah arca itu begitu sempurna. Begitu indah. Seakan jika aku menyentuhnya, aku akan merasakan hangat yang sama dengan yang kuterima ketika aku menyentuh wajahnya. Wajah lipas itu.

Kedua lengan arca itu tersodor ke depan. Seakan siap memelukku. Kini delusi dan ingatan-ingatanku berkelebat dalam gerak cepat. Berganti-gantian satu sama lain. Tengkukku dingin. Keningku berkeringat. Tanganku berdenyut-denyut. Aku lirikkan pandanganku kearah batu yang kugenggam. Batu yang kini merah oleh darah yang mengalir dari genggaman tanganku yang rupanya terlalu erat menggenggamnya.
Aku layangkan pandanganku ke arca itu sekali lagi.
"Terakhir kalinya.." benakku.

"Aku tak bisa"
"Payah.....sudah kuduga.." dan aku mendengarmu terkekeh-kekeh dibelakangku.