Sunday, January 30, 2005

kita tetap kita tetap kita (?)

Aku masih ingat sinar keemasan matahari yang menerobos jendela studioku sore itu.
Aku bahkan masih ingat aroma waktu itu, tanah basah sesudah hujan tanpa mendung.

"Sudah, aku capek" begitu katamu
Aku pura-pura tak mendengar.
Lalu kau berdiri, masuk ke kamar ganti, dan berganti kostum dengan bajumu sehari-hari.
Aku masih berkutat mencampur-campur warna.
Warna matamu sulit sekali didapat.
Coklat, hijau, tambahkan setitik biru... kurang gelap.
Hitam, ungu, tambahkan sedikit merah.. tak juga kutangkap warna itu.
Warna matamu.

"Aku pergi dulu" katamu sambil lalu.
"kemana?" masih aku campur-campur warna matamu.
"jalan-jalan.." lalu kudengar suara pintu tertutup, tak dibanting, tapi juga tak ditutup dengan halus, khas suara pintu ditutup milikmu.

Gambar teralis jendela yang dilukis oleh sinar matahari kini sudah melata, bahkan mulai memanjat ke dinding timur studioku.



Dua tahun berlalu sejak saat itu.


Di sebuah sore, yang tak jauh beda dengan sore itu, kau tiba-tiba mengetuk pintu hijau rumahku. Kau pulang dari 'jalan-jalan'mu.

"apa kabar?" sapamu
"masih begini-begini saja" sambil kutarik salah satu kursi dari ruang makan ke teras rumahku.
"kamu sendiri?"
"baik... lukisannya udah selesai?" tanyamu seakan kau pergi hanya sejak beberapa jam lalu.

.
.
"belum" kataku setelah menamatkan secangkir kopi hangat yang sudah setengahnya ketika kau datang.

"ayo kita mulai lagi"

Studioku agak kotor, aku akui. Aku bukan orang yang telaten. Ibuku selalu bilang aku harus cari istri yang resik, alasannya ya karena ini. Pintunya kini berderit kalau dibuka. Ini pertama kalinya dalam dua tahun kamu masuk lagi ke dalamnya. Dan kini aku dengar lagi suara khas pintu tertutupmu. Suara itu, plus suara derit.

Lucu bagaimana waktu seakan terlipat-lipat jika aku di dekatmu. Aku berani bersumpah, kecuali bau tanah basah pada waktu itu, sore ini adalah sore yang sama dengan sore itu. Kamu memakai kostum yang sama, sinar matahari yang menerobos teralis jendela studioku, aroma cat, daun jendela yang retak salah satu panil kacanya. Semuanya sama. Sore ini adalah sore itu, aku adalah aku yang waktu itu, dan kamu adalah kamu yang waktu itu. Tak ada yang berubah. "Seperti inilah seharusnya" benakku.

"aku akhirnya mendapatkan warna matamu" kataku sambil aku duduk di depan kanvasku. Mengambil minyak dan membasahi lagi campuran warna matamu yang sudah mengering.

"lalu kenapa gak diselesaikan saja lukisannya?" kau bersihkan tempat dudukmu, pedestalmu
"aku baru dapat warnanya.. aku tak ingat sinarnya..." jawabku.
"kalau gitu silakan, perhatikan sinarnya" katamu sambil tersenyum.

Lalu aku tertengun...
Aku tertengun sampai kau bertanya "Ada apa? Kok gak mulai-mulai?"



Aku tak yakin tentang sinarnya, tapi ada satu yang aku yakin.
"warna matamu berubah.."

No comments: