"Dia itu penyakit jiwa" begitu katamu. Penyakit jiwa yang menahun. Penyakit jiwa yang kambuh selalu disaat-saat kau sedang merasa sendiri. Dia itu lipas, yang bersembunyi dan bersarang diantara bebatuan jiwamu yang kering dan dahaga.
"Kau sendiri sudah sadar tentang itu kan?"
Aku mengangguk pelan.
Lalu menggeleng.
"Ah masih juga kau tak mengakuinya."
"Nih, aku angkatkan satu batu, kau lihat ada apa dibawahnya."
Yang aku lihat cuma sebuah sarang mirip sarang laba-laba, dan beberapa sisa-sisa mangsa.
"Yang kau lihat ini salah satu sarangnya. Sisa-sisa itu adalah sebagian dari hatimu,"
"Kau lihat? Betapa parahnya penyakitmu ini, bahkan hatimu digerogoti pun kau tak sadar."
"Tapi aku tak lihat lipas seekorpun.." akhirnya aku angkat bicara
" Dia sedang keluar, main dengan teman-temannya. Menikmati indahnya dunia. Sementara kau disini, di sudut-sudut benakmu yang kering kerontang." senyummu tampak mengejek kali ini.
"Aku kasihan padamu."
"Kau lihat itu" katamu sambil menunjuk satu sudut di lahan kering berbatu ini. Kearah sesosok indah pualam. Sosok seorang gadis cantik yang terlihat begitu ceria dan gembira.
"Kau yang membangun itu. Sadarkah kau?"
Aku tertengun.
"Iya. Kau yang membangunnya. Berhala yang kau buat untuk menyembahnya. Padahal sebenarnya dia hanya lipas."
"Lihat!" sergahmu seraya memenggangi bagian belakang kepalaku ketika aku hendak memalingkan muka.
"Itu karyamu! Itu kerjaanmu!"
"Bahkan itu saja kerjaanmu selama ini , memahat berhala untuk memujanya"
"Lalu kenapa?! " aku mulai marah. "Apa urusanmu kalau aku menyembah berhalanya ha?!"
"Apa maumu!?" bentakku.
Kau mengambil kotak rokok dari saku bajuku, membukanya, menyalakan salah satu isinya, lalu sambil menghembuskan asap tebal kau berkata singkat "Aku mau membangunkanmu."
Setelah itu beberapa saat kita berdua terdiam. Kau membersihkan sebuah batu di sebelahku dengan tanganmu, lalu duduk. Aku sendiri sudah terduduk sejak tadi.
"Mau?" katamu menyodorkan bungkus rokok padaku. Kotak rokokku. Rokokku.
Aku ambil satu rokokku itu, dan kau membantuku menyalakannya.
"Begini..." katamu membuka lagi percakapan. Atau sebenarnya perkuliahan.
"Kau sendiri kan sadar, delusimu ini tak akan berjalan kemana-mana?"
"Dan kalaupun akhirnya ia bisa berjalan, kau kan tahu akhirnya kira-kira seperti apa?"
Aku mengangguk. Ragu-ragu.
"Nih, ambil.." kau menyodorkan sebuah batu hitam yang lumayan besar.
"Sekarang kau jalan kesana, hancurkan itu berhalamu."
"Hancurkan sampai tak bersisa."
"Ayo cepaaat.." katamu sambil mendorongku.
Aku mengangkat tanganku. Batu itu berat , kasar, tajam. Granit.
Lalu aku melangkah.
Satu langkah... dua langkah.. tiga.. empat.. lima.. dan di setiap langkahku, semua ingatanku tentangnya terpampang jelas di hadapanku. Ingatan atau delusi? Entahlah saat ini tak penting itu delusi atau memori. Toh aku juga sudah tak bisa memilah-milahnya saat ini.
Di hadapan arca pualam itu aku berdiri. Lama .. lama sekali. Sementara batu di tanganku terasa semakin berat dan semakin berat. Wajah arca itu begitu sempurna. Begitu indah. Seakan jika aku menyentuhnya, aku akan merasakan hangat yang sama dengan yang kuterima ketika aku menyentuh wajahnya. Wajah lipas itu.
Kedua lengan arca itu tersodor ke depan. Seakan siap memelukku. Kini delusi dan ingatan-ingatanku berkelebat dalam gerak cepat. Berganti-gantian satu sama lain. Tengkukku dingin. Keningku berkeringat. Tanganku berdenyut-denyut. Aku lirikkan pandanganku kearah batu yang kugenggam. Batu yang kini merah oleh darah yang mengalir dari genggaman tanganku yang rupanya terlalu erat menggenggamnya.
Aku layangkan pandanganku ke arca itu sekali lagi.
"Terakhir kalinya.." benakku.
"Aku tak bisa"
"Payah.....sudah kuduga.." dan aku mendengarmu terkekeh-kekeh dibelakangku.
Saturday, January 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment